Hukum Vasektomi dalam Islam: Bolehkah Pria Melakukannya?

Ilustrasi vasektomi (freepik)

Jakarta – Vasektomi kini menjadi salah satu metode kontrasepsi permanen yang banyak dipilih para pria. Prosedur ini dianggap efektif dan minim risiko.

Terlebih, baru-baru ini Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi mengusulkan aturan baru bagi penerima bansos harus melakukan vasektomi. Namun, bagaimana sebenarnya hukum vasektomi dalam Islam? Apakah tindakan medis ini diperbolehkan dan aman?

Vasektomi adalah prosedur medis untuk menghentikan kemampuan reproduksi pria secara permanen. Dalam pelaksanaannya, saluran sperma yang berada di skrotum akan dipotong atau ditutup, sehingga sperma tidak keluar saat ejakulasi dan tidak menyebabkan kehamilan.

Metode ini tergolong aman, murah, dan memiliki tingkat keberhasilan hampir 100 persen menurut Mayo Clinic. Dibandingkan dengan sterilisasi pada wanita (tubektomi), vasektomi lebih ringan dan efek sampingnya pun sangat minim.

Namun, karena bersifat permanen, keputusan melakukan vasektomi perlu dipikirkan matang-matang oleh pasangan suami istri.

Pandangan Islam Terhadap Vasektomi

Dalam ajaran Islam, memiliki keturunan adalah bagian dari karunia Allah SWT. Rasulullah SAW bahkan menganjurkan umatnya untuk memperbanyak keturunan. Oleh karena itu, segala tindakan yang menghalangi kelahiran secara permanen harus ditinjau dari sudut pandang syariat.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri telah mengeluarkan fatwa terkait vasektomi. Dalam fatwa tahun 1979, MUI menyatakan bahwa vasektomi dan tubektomi termasuk dalam kategori haram karena dianggap sebagai bentuk sterilisasi atau pemandulan yang bertentangan dengan prinsip Islam.

Pengecualian: Kapan Vasektomi Diperbolehkan?

Meski secara umum dihukumi haram, Islam tetap memberikan ruang pengecualian dalam kondisi tertentu. Dalam Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tahun 2012, disebutkan bahwa vasektomi bisa diperbolehkan dengan syarat sebagai berikut:

1. Memiliki alasan syar’i yang kuat

Vasektomi diperbolehkan apabila dilakukan demi menghindari bahaya besar, baik bagi suami maupun istri. Misalnya, kondisi medis serius yang membuat kehamilan berisiko tinggi bagi keselamatan istri.

Baca Artikel Menarik Lainnya: Titik Kritis: Bahasan Sertifikasi Halal yang Jarang Dipahami Pelaku Usaha

2. Tidak menyebabkan kemandulan permanen

Vasektomi yang dapat dipulihkan (reversibel) atau bisa direkanalisasi lebih memungkinkan untuk dipertimbangkan.

3. Tidak membahayakan kesehatan

Prosedur harus dilakukan oleh tenaga medis profesional dan tidak menimbulkan mudarat fisik maupun psikologis.

Jika ketiga syarat ini terpenuhi, maka hukum vasektomi bisa berubah menjadi mubah (boleh), tergantung niat dan kondisi masing-masing individu.

Alternatif Kontrasepsi Pria dan Wanita yang Sesuai Syariat

Jika vasektomi terasa terlalu permanen, ada banyak pilihan kontrasepsi yang lebih fleksibel dan tidak menyalahi syariat:

1. Kondom Pria dan Wanita

Metode kontrasepsi non-hormonal yang praktis dan mudah digunakan. Tidak mengubah sistem reproduksi tubuh dan tidak bersifat permanen.

Baca Artikel Menarik Lainnya: Produk “Valentine” Tidak Dapat di Sertifikasi Halal, Mengapa?

2. Kontrasepsi Hormonal untuk Istri

Pil KB: Harus dikonsumsi rutin setiap hari.

Suntik KB: Efektif hingga 1-3 bulan.

Implan KB: Ditanam di bawah kulit, bertahan hingga 5 tahun.

3. IUD (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim)

IUD Tembaga: Tanpa hormon, efektif hingga 10 tahun.

IUD Hormonal: Mengandung hormon yang dilepaskan perlahan.

4. Metode Kalender (Pantang Berkala)

Menghitung masa subur istri dan menghindari hubungan seksual di periode tersebut.

5. Tubektomi (Sterilisasi Wanita)

Jika memang perlu tindakan permanen, sterilisasi pada wanita bisa menjadi pilihan dengan catatan tetap mempertimbangkan hukum Islam dan kondisi medis.

Secara prinsip, hukum vasektomi dalam Islam adalah haram, kecuali dilakukan dengan alasan syar’i dan tidak menyebabkan kemandulan permanen. Diskusi dengan tenaga medis dan ulama terpercaya sangat dianjurkan sebelum memutuskan prosedur ini.

Apapun metode kontrasepsi yang dipilih, pastikan itu merupakan keputusan bersama pasangan dan mempertimbangkan aspek kesehatan, agama, serta tanggung jawab keluarga ke depan. (AL)

Categories:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *