Produk Olahan Daging Tidak Bisa Gunakan Self-Declare

Ilustrasi bahan olahan daging

HALAL CORRIDOR – Sejak 17 Oktober 2024, pemerintah Indonesia resmi memberlakukan kewajiban sertifikasi halal tahap pertama bagi produk makanan, minuman, hasil sembelihan, jasa penyembelihan, serta seluruh bahan pendukungnya.

Kebijakan ini menjadi langkah besar dalam menjamin kehalalan produk yang beredar di Indonesia, terutama bagi konsumen Muslim yang kian sadar akan pentingnya label halal.

Guna mendukung pelaksanaan kewajiban ini, pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menghadirkan dua skema sertifikasi halal, yaitu self declare dan reguler.

Namun perlu dipahami, tidak semua pelaku UMKM dapat menggunakan jalur self declare, terutama jika produk yang dihasilkan tergolong high risk, seperti produk olahan daging.

Apa Itu Sertifikasi Halal Self Declare dan Siapa yang Bisa Menggunakannya?

Self declare adalah skema sertifikasi halal yang didasarkan pada pernyataan pelaku usaha, dengan penetapan halal dilakukan oleh Komite Fatwa Produk Halal.

Proses ini tidak dipungut biaya alias gratis dan diperuntukkan bagi pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) yang memenuhi 14 kriteria tertentu.

Beberapa kriteria tersebut antara lain:

  • Produk tidak mengandung unsur hewan sembelihan
  • Bahan dan proses telah dipastikan kehalalannya
  • Omzet tahunan maksimal Rp500 juta
  • Peralatan produksi sederhana atau manual
  • Proses pengawetan sederhana (tidak lebih dari satu metode)
  • Menggunakan bahan tanpa kandungan berbahaya
  • Produk tidak berisiko tinggi (non-high risk)

Dasar hukum dari kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Kepala BPJPH Nomor 150 Tahun 2022, yang secara teknis mengatur petunjuk pelaksanaan self declare bagi UMK.

Kenapa Produk Olahan Daging Tak Bisa Gunakan Self Declare?

Menurut Siti Aminah, Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH, sertifikasi halal di Indonesia menerapkan sistem pemeriksaan telusur, yakni setiap tahapan produksi akan ditelusuri secara menyeluruh untuk menjamin kehalalan secara utuh.

Karena itu, meskipun pelaku usaha tergolong UMK, jika produknya termasuk dalam kategori produk berisiko tinggi (high risk)—seperti olahan daging dan hasil sembelihan—mereka tidak bisa memakai mekanisme self declare.

“Misalnya penjual bakso. Itu mereka tidak bisa dapat self declare. Karena harus ditelusuri terlebih dahulu proses dan komposisi produk, karena produknya high risk. Meskipun UMKM,” ujar Siti Aminah dalam acara sosialisasi BPJPH bersama Kementerian Koperasi dan UKM, Kamis, (7/3/2024).

Hal ini disebabkan oleh tingginya risiko penyimpangan kehalalan dalam produk olahan daging, seperti:

  • Sumber daging yang tidak jelas asal-usulnya
  • Proses penyembelihan yang belum sesuai syariat
  • Penggunaan alat produksi yang terkontaminasi
  • Bahan tambahan seperti gelatin, pengemulsi, atau penyedap yang belum tentu halal

Bagi pelaku UMK dengan produk high risk, jalur yang disarankan adalah sertifikasi halal reguler. Dalam skema ini, produk akan diperiksa secara langsung oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan ditetapkan halal oleh Komisi Fatwa MUI.

Meskipun reguler, pemerintah dan mitra pendamping seperti Halal Corridor dapat membantu mempermudah prosesnya.

Dengan pendampingan profesional dan sistem terintegrasi seperti SIHALAL, pelaku usaha dapat menjalani proses secara efisien dan transparan. (AL)

Categories:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *