5 Kesalahan Presepsi Tentang Kehalalan Suatu Produk

Ilustrasi produk dengan label halal

HALAL CORRIDOR – Memasuki era modern seperti sekarang, kesadaran umat Islam terhadap kehalalan produk semakin meningkat.

Namun, seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan produk halal, masih banyak kesalahan persepsi di tengah masyarakat yang bisa menyebabkan konsumsi produk yang meragukan secara tidak sengaja.

Sebagai konsumen Muslim, kita tidak hanya memiliki hak untuk mendapatkan produk yang aman dan sehat, tetapi juga produk yang halal dan thayyib.

Hak-hak ini sejatinya sejalan dengan prinsip perlindungan konsumen sebagaimana disampaikan Presiden AS John F. Kennedy pada tahun 1962, yang kemudian dikenal secara global sebagai prinsip dasar konsumen.

Di Indonesia sendiri, jaminan kehalalan telah diatur secara hukum melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Pasal 4 UU ini menyatakan bahwa seluruh produk yang beredar di Indonesia wajib bersertifikat halal.

Sayangnya, belum semua masyarakat memahami dengan tepat makna dari logo halal dan prosedur di balik sertifikasi tersebut.

Berikut ini adalah lima kesalahan persepsi umum tentang kehalalan produk yang penting untuk diluruskan, sebagaimana dijelaskan dalam laman resmi halal.unair.ac.id:

1. Bahan Utama Halal Tidak Menjamin Produk Halal

Banyak yang menganggap jika bahan utama suatu produk adalah herbal atau tidak mengandung babi/alkohol, maka otomatis produk itu halal.

Padahal, proses produksi juga menjadi faktor penting dalam penetapan kehalalan.Contohnya adalah angciu (arak Cina) yang berbahan dasar beras ketan.

Meski bahan utamanya halal, proses fermentasinya menghasilkan alkohol hingga 15%, sehingga menjadikannya tidak halal. Maka, sertifikasi halal tetap diperlukan meskipun bahan bakunya tampak alami.

2. Satu Varian Halal ≠ Seluruh Produk Halal

Banyak konsumen mengira bahwa jika satu produk dari sebuah brand telah tersertifikasi halal, maka semua produk dari brand itu otomatis halal. Ini adalah anggapan keliru.

Misalnya, sebuah toko roti menyertifikasi rotinya namun belum menyertifikasi cake yang mengandung rhum atau alkohol. Dalam hal ini, kehalalan hanya berlaku untuk varian yang sudah disertifikasi, bukan seluruh produk dalam satu merek.

3. Label “Zero Alkohol” Belum Tentu Halal

Label “zero alkohol” sering kali dianggap identik dengan halal. Padahal, kehalalan sebuah produk tidak hanya ditentukan oleh kadar alkoholnya, tetapi juga niat dan kemasan produknya.

Pada tahun 2008, salah satu produsen minuman keras membuat varian non-alkohol bernama Cham’alal, ditujukan untuk konsumen Muslim.

Namun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak memberi sertifikasi halal karena nama dan image produk tetap menyerupai produk haram.

Selain itu, komposisi seperti procine, swine, pork, atau boar juga harus diwaspadai meskipun tidak berkadar alkohol.

4. Kosmetik Halal Tidak Selalu Sah untuk Wudhu

Kosmetik yang memiliki logo halal memang tidak mengandung bahan najis, tapi bukan berarti bisa langsung dipakai saat ibadah. Contohnya adalah kutek atau maskara halal yang bersifat waterproof.

Walaupun bahan dasarnya halal, air wudhu tidak bisa menembusnya, sehingga pengguna tetap wajib membersihkannya sebelum berwudhu. Penting untuk memahami perbedaan halal secara zat dan sah secara syariat.

5. Kode E pada Makanan Bukan Berarti Haram

Kode E (E-codes) sering disalahpahami sebagai kode bahan dari babi. Padahal, kode ini adalah penamaan standar internasional untuk bahan tambahan makanan yang disetujui oleh Uni Eropa.

Contohnya:

  • E100–E199: pewarna makanan
  • E200–E299: pengawet makanan

Namun demikian, konsumen tetap harus waspada karena asal-usul bahan baku E-codes tetap harus ditelusuri. Di sinilah pentingnya kehadiran sertifikasi halal untuk memastikan kejelasan dan keamanan konsumsi. (AL)

Categories:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *