
HALAL CORRIDOR – Pernahkah kamu mendengar istilah, “You are what you eat”? Dalam bahasa Indonesia, pepatah ini dapat diartikan sebagai “Kamu adalah apa yang kamu makan”.
Kalimat ini berdasarkan “Dis-moi ce que tu manges, je te dirai ce que tu es. [Katakan padaku apa yang kamu makan, dan aku akan memberitahumu siapa kamu]” yang pertama kali dicetuskan oleh Anthelme Brillat-Savarin, seorang pengacara dan politisi asal Prancis pada tahun 1826, yang percaya bahwa kondisi fisik, mental, dan emosi seseorang bisa dilihat dari apa yang ia konsumsi.
Beberapa dekade kemudian, filsuf asal Jerman, Ludwig Andreas Feuerbach, memperkuat pernyataan ini dengan frasa “Der Mensch ist, was er isst” (Manusia adalah apa yang ia makan).
Pepatah ini kemudian semakin populer di tahun 1942 berkat Victor Lindlahr, ahli gizi asal Inggris, yang melalui risetnya menyatakan bahwa 90% penyakit berasal dari makanan yang buruk kualitasnya.
Baca Artikel Menarik Lainnya: Ulat Sagu Jadi Bekal Kerja, Halal Dikonsumsi?
Menariknya, Islam jauh lebih dahulu menekankan pentingnya memilih makanan yang bukan hanya halal, tetapi juga thayyiban (baik dan menyehatkan). Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 168:
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal lagi baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.”
Ayat ini memberi pesan bahwa apa yang kita makan akan berdampak bukan hanya pada tubuh, tetapi juga pada hati dan jiwa kita. “Halal” berarti terhindar dari sesuatu yang diharamkan, sedangkan “thayyiban” berarti baik, bergizi, dan bermanfaat bagi kesehatan.
Dengan kata lain, Islam tidak hanya memandang halal dari sisi hukum agama, tetapi juga dari sisi kualitas dan dampaknya bagi kesehatan.
You Are What You Eat dan Prinsip Halal
Konsep “You are what you eat” jika dikaitkan dengan Islam, semakin memperkuat pentingnya menjaga asupan makanan. Makanan yang halal dan thayyiban akan mencetak pribadi yang sehat, berakhlak baik, dan siap menjalani kehidupan dengan energi positif. Sebaliknya, makanan yang tidak jelas kehalalannya bisa membawa dampak buruk, baik secara fisik maupun spiritual.
Hal ini sejalan dengan prinsip kesehatan modern. WHO dalam “Guidelines for Regulating Food High in Fat, Sugar and Salt (HFSS)” menekankan agar kita bijak dalam menakar konsumsi harian. Pola makan seimbang bukan sekadar gaya hidup, melainkan langkah preventif untuk mencegah penyakit. Dengan kata lain, makanan memang bisa menjadi “obat” terbaik bagi tubuh kita.
Sertifikasi Halal dalam Regulasi Indonesia
Selain dari sisi agama, pentingnya makanan halal juga ditegaskan melalui regulasi. Di Indonesia, hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH).
Dalam UU ini dijelaskan bahwa produk yang beredar di Indonesia, khususnya makanan dan minuman, wajib bersertifikat halal. Aturan ini bukan hanya untuk melindungi umat Islam yang merupakan mayoritas, tetapi juga memastikan masyarakat secara umum mendapat produk yang jelas, aman, dan berkualitas.
Itulah sebabnya, penting untuk lebih selektif dalam memilih apa yang kita makan. Tidak hanya menghindari yang haram, tetapi juga memastikan makanan itu baik, bergizi, dan jelas sumbernya.
Jadi, pilihlah dengan bijak makanan yang masuk ke dalam tubuh. Pilih yang halal, thayyiban, dan bersertifikat halal. Karena tubuh yang sehat dan jiwa yang bersih berawal dari makanan yang baik.
Ingat, Hippocrates, bapak kedokteran modern, pernah berkata, “Let your food be your medicine, and your medicine be your food.” Bahwa makanan bukan hanya pengisi perut, tapi juga penentu kualitas hidup. (AL)
Tinggalkan Balasan