Viral Bakso Remaja Gading Diduga Tak Halal, Ini Faktanya!

Bakso Remaja Gading, Joyosuran (Foto: KOMPAS.COM/Fristin)

HALAL CORRIDOR – Nama Bakso Remaja Gading mendadak jadi sorotan di media sosial setelah diberitakan diduga menjual produk yang mengandung babi. Kasus ini mencuat usai Satpol PP Kota Solo melakukan inspeksi mendadak di lokasi usaha tersebut.

Dalam laporan hasil sidak yang dikutip dari TribunSolo.com, Selasa (4/11), disebutkan bahwa usaha Bakso Remaja Gading tidak memiliki Nomor Izin Berusaha (NIB), belum memiliki sertifikat halal, dan produk yang dijual terindikasi mengandung babi.

Temuan ini sontak membuat heboh warga Solo, terutama pelanggan setia Bakso Remaja Gading. Banyak yang merasa terkejut, karena selama ini mereka yakin produk tersebut halal. Keyakinan itu muncul lantaran beberapa pegawai di sana diketahui mengenakan hijab, sehingga secara kasat mata dianggap aman.

Namun, setelah kabar itu viral, pihak Bakso Remaja Gading memberikan klarifikasi resmi. Menurut salah satu karyawan, produk yang dijual sebenarnya halal, hanya saja mereka memang belum memiliki sertifikat halal.

Baca Artikel Menarik Lainnya: Memahami Perbedaan Halal, Haram, Syubhat, dan Belum Halal

Ia menjelaskan, kesalahpahaman ini bermula saat petugas melakukan sidak pada 9 Oktober 2025 dan menanyakan bahan-bahan baku yang digunakan. Saat itu, pemilik usaha bernama Gino dalam kondisi kurang sehat usai dirawat di rumah sakit, sehingga ia tampak bingung membedakan antara istilah halal dan non-halal.

“Pak Gino waktu itu sedang belum fit. Saat ditanya soal bahan, beliau mengira ‘non-halal’ itu masih bagian dari ‘halal’. Jadi salah paham saja,” jelas karyawan tersebut.

Untuk menepis kabar yang beredar, pihak Bakso Remaja Gading mengaku sudah mengirim sampel produk ke laboratorium pada 3 November, dan hasilnya akan diumumkan pada 7 November 2025 mendatang.

Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, setiap produk yang beredar di Indonesia wajib memiliki sertifikat halal paling lambat pada Oktober 2026. Tanpa sertifikat tersebut, status produknya dianggap tidak halal secara hukum.

Artinya, meskipun pemiliknya muslim atau bahan-bahannya tampak aman, tanpa sertifikat halal, produk belum diakui secara resmi. Sertifikat halal menjadi bentuk perlindungan hukum bagi pelaku usaha dan jaminan kepercayaan bagi konsumen.

Bagi konsumen, kejadian ini mengingatkan untuk tidak hanya menilai halal dari tampilan luar. Hijab pegawai, logo beraksara arab, atau nama islami tidak bisa dijadikan patokan. Yang utama adalah adanya sertifikat halal yang sah dari BPJPH atau MUI.

Kasus ini diharapkan menjadi pelajaran berharga agar ke depan, baik penjual maupun pembeli sama-sama memiliki literasi halal yang lebih kuat. Karena pada akhirnya, halal bukan sekadar label tapi juga bentuk tanggung jawab moral dan kepercayaan publik. (AL)

Categories:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *