
HALAL CORIDOR – Selama berabad-abad, jamu telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya dan pengobatan tradisional masyarakat Indonesia.
Ramuan herbal ini dikenal mampu menjaga stamina, meredakan keluhan ringan seperti masuk angin, batuk, hingga pegal-pegal, bahkan dipercaya sebagai terapi alami untuk berbagai penyakit.
Namun seiring berkembangnya produk jamu dalam beragam bentuk mulai dari jamu gendong hingga kapsul instan muncul pula kekhawatiran mengenai kehalalan bahan dan proses produksinya.
Tak sedikit masyarakat yang mengira semua jamu pasti halal karena berasal dari tumbuhan. Padahal, titik kritis kehalalan bisa muncul dari bahan tambahan hingga proses produksinya.
Direktur Utama LPPOM MUI, Ir. Muti Arintawati, M.Si., menegaskan bahwa tidak semua produk jamu otomatis halal. Beberapa justru berisiko tinggi mengandung bahan haram, baik disengaja maupun tidak.
Oleh karena itu, penting bagi konsumen untuk mengenali jenis-jenis jamu serta titik kritis kehalalannya.
Baca Artikel Menarik Lainnya: Titik Kritis: Bahasan Sertifikasi Halal yang Jarang Dipahami Pelaku Usaha
- Jamu Gendong: Umumnya Aman, tapi Tetap Perlu Waspada
Jamu gendong adalah bentuk jamu tradisional yang paling klasik. Dibuat dengan cara merebus atau menumbuk bahan-bahan herbal seperti daun-daunan, akar, dan rempah, lalu disaring dan disimpan dalam botol.
Jamu ini dijual secara langsung, umumnya oleh ibu-ibu yang berkeliling kampung. Jika dikonsumsi murni tanpa tambahan bahan lain, jamu gendong tergolong aman dan halal.
Namun, karena umumnya diproduksi rumahan tanpa pengawasan ketat, konsumen tetap perlu berhati-hati terhadap kemungkinan pencampuran bahan tambahan yang belum tentu halal.
2. Jamu Seduh: Praktis, Namun Perlu Hati-hati Tambahannya
Jamu seduh hadir dalam bentuk serbuk kering yang tinggal dilarutkan dengan air hangat. Produk ini bisa dibeli di warung, kedai jamu, atau toko kelontong.
Meskipun bahan dasarnya dari tanaman dan jamunya bersertifikat halal, titik kritis kehalalan bisa muncul saat penyajian.
Di beberapa kedai, jamu seduh dicampur bahan tambahan seperti telur, madu, bahkan anggur kolesom atau arak sebagai campuran—yang jelas haram jika mengandung alkohol.
3. Jamu Cair: Waspada Campuran Alkohol dan Ekstrasi
Jamu cair modern biasanya dikemas dalam botol dan bisa langsung diminum. Produk ini sering menggunakan teknologi ekstraksi yang melibatkan pelarut—kadang menggunakan alkohol.
Jika tidak dikeringkan sempurna, sisa residu alkohol bisa tetap tertinggal di dalam produk. Menurut Fatwa MUI No. 10 Tahun 2018, jika kadar alkohol dari khamr dalam produk mencapai 0,5% atau lebih, maka hukumnya najis dan haram.
Oleh karena itu, penting mengecek apakah jamu cair tersebut menggunakan alkohol dari khamr atau bukan, dan bagaimana kadar akhirnya.
4. Jamu Kapsul: Titik Kritis di Cangkang Gelatin
Jamu dalam bentuk kapsul menawarkan kepraktisan dan menghilangkan rasa pahit. Tapi ada titik kritis pada bahan cangkangnya. Banyak cangkang kapsul dibuat dari gelatin yang bisa berasal dari sapi, ikan, maupun babi.
Jika berasal dari hewan halal tapi tidak disembelih secara syar’i, maka status kehalalannya tetap diragukan. Karena itu, konsumen disarankan hanya memilih jamu kapsul yang sudah jelas sertifikat halalnya.
5. Jamu Impor
Beberapa jamu tradisional dari Tiongkok sering menggunakan bahan yang tidak lazim dan haram menurut syariat Islam, seperti empedu beruang, darah ular, tangkur buaya, dan sejenisnya.
Tak hanya haram, bahan-bahan tersebut juga belum tentu aman untuk dikonsumsi dalam jangka panjang.
Banyak masyarakat masih menganggap semua jamu pasti halal karena berbahan herbal. Padahal, titik kritis bisa muncul dari berbagai sisi: mulai dari alkohol dalam proses, tambahan bahan haram, hingga gelatin hewani dalam kapsul.
Oleh karena itu, penting untuk memilih produk yang sudah memiliki sertifikat halal dari BPJPH agar manfaat kesehatan yang diperoleh tidak tercampur dengan risiko keharaman. (AL)
Tinggalkan Balasan