Belum Bersertifikat Halal, Bubur Ayam Kena Review Buruk

Ilustrasi bubur ayam yang belum tersertifikasi halal

HALAL CORRIDOR – Beberapa waktu lalu, media sosial dihebohkan oleh sebuah unggahan dari akun Instagram @giladiskonn yang memuat tangkapan layar review Google di tempat makan bernama Bubur Ayam Khas Jakarta Bang Udin Sigura-gura.

Salah satu pelanggan, dengan akun bernama Naisya Arifah, memberikan rating bintang satu dengan alasan bahwa bubur ayam yang dibelinya belum memiliki sertifikat halal.

Tempat makan ini menyajikan menu bubur ayam dengan aneka topping seperti sate usus, telur puyuh, ati ampela, cakue, kulit ayam, dan telur kampung setengah matang yang menggoda.

Dalam review tersebut, Naisya menuliskan “belum tersertifikasi halal!” yang ditulis dengan hurup besar bernada marah.

Penjual lalu memberikan tanggapan melalui kolom komentar.

Baca Artikel Menarik Lainnya: 7 Alasan Kenapa Kesadaran Sertifikasi Halal Masih Rendah

“Jika memang Anda tidak yakin dengan kehalalan produk kami, beli saja Super Bubur atau buat saja bubur sendiri di rumah, etika Anda bintang” dikutip melalui unggahan @giladiskonn, Selasa, (22/7)

Penjual juga menambahkan bahwa meski belum tersertifikasi, bahan dan pengolahan sudah halal secara prinsip syariah.

Namun saat tim Halal Corridor mencoba menelusuri komentar-komentar tersebut, baik dari pembeli maupun penjual, kami tidak lagi menemukannya.

Kemungkinan telah dihapus atau terhapus otomatis oleh sistem. Tapi kejadian ini sudah terlanjur viral dan menyulut perdebatan.

Apakah wajar sebagai konsumen bertanya soal sertifikat halal? Dan bagaimana seharusnya etika kita menyikapinya?

Bagi umat Muslim, menanyakan kehalalan makanan adalah hak sekaligus kewajiban.

Tidak ada yang salah dengan bertanya, bahkan itu bentuk kehati-hatian yang patut diapresiasi.

Sebagai mana yang tertulis dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 168:

“Wahai sekalian manusia, makanlah dari apa yang ada di bumi yang halal lagi baik.”

Ayat ini menegaskan bahwa makanan yang dikonsumsi tidak hanya harus halal, tetapi juga tayyib baik secara zat, proses, dan dampaknya.

Namun demikian, memberikan review negatif di ruang publik tanpa terlebih dulu konfirmasi langsung ke penjual bisa menjadi bumerang.

Hal ini pun sempat dipertanyakan oleh warga net, apakah si pembeli menanyakan terlebih dahulu, atau langsung memberi review buruk.

Karena ulasan buruk, bukan hanya berpotensi menurunkan reputasi bisnis kecil seperti UMKM, tapi juga bisa memicu kesalahpahaman besar di tengah masyarakat.

Lebih bijak jika konsumen menyampaikan pertanyaan secara pribadi terlebih dahulu, misalnya:

“Maaf kak, ini sudah bersertifikat halal BPJPH belum ya?”

Dengan cara seperti ini, pembeli tetap bisa menyuarakan keprihatinan tanpa merugikan orang lain secara terbuka.

Jika si penjual memang belum memiliki sertifikasi halal, sebagai pembeli bisa memilih opsi makanan lain yang sudah terjamin kehalalannya.

Di sisi lain, penjual juga perlu memahami bahwa pertanyaan soal kehalalan bukan bentuk serangan.

Di era sekarang, kesadaran halal konsumen semakin tinggi bukan karena ingin menyulitkan, tapi karena ingin merasa tenang dan yakin dengan apa yang dikonsumsi.

Jika belum memiliki sertifikat halal, penjual bisa merespons dengan tenang dan jujur:

“Saat ini kami belum memiliki sertifikat halal, tapi semua bahan kami gunakan dari sumber yang insyaallah halal. Kami juga sedang mempertimbangkan untuk mengurus sertifikasi.”

Sikap terbuka seperti ini akan membangun kepercayaan konsumen, dan membuka ruang dialog yang sehat, bukan konflik.

Bacaan Lainnya: Makanan Fermentasi Bisa Jadi Haram? Ini 5 Faktanya!

Penting untuk dipahami bahwa sertifikat halal bukan sekadar formalitas administratif, tapi simbol kepercayaan.

Banyak konsumen kini yang menjadikan logo halal sebagai indikator utama sebelum membeli makanan atau minuman, meskipun tidak ada label haram di produk tersebut.

Kasus bubur ayam ini memberikan pelajaran berharga. Bahwa di balik label halal, ada nilai, etika, dan komunikasi yang harus dijaga.

Sebagai konsumen, mari bertanya dengan cara yang baik dan memberi ruang penjelasan. Sebagai penjual, mari terbuka dan berproses menuju sertifikasi halal.

Jangan saling serang, tapi saling menguatkan dalam membangun ekosistem halal yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Karena pada akhirnya, halal bukan hanya soal label, tapi juga soal tanggung jawab, kepercayaan, dan transparansi terhadap konsumen. (AL)

Categories:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *