Ternyata Negara Ini yang Jadi Pelopor Sertifikat Halal!

Ilustrasi sertifikat halal Indonesia

HALAL CORRIDOR – Sertifikat halal merupakan bentuk jaminan kehalalan produk yang tidak selalu melibatkan metode ilmiah seperti yang kita kenal sekarang.

Menurut artikel En-Chieh Chao dalam bukunya Rethinking Halal: Genealogy, Current Trends, and New Interpretations, komunitas imigran asal Lebanon di Argentina pada akhir dekade 1960-an adalah yang pertama kali mempelopori penggunaan label halal.

Namun, label halal ini tidak menggunakan pendekatan ilmiah atau laboratorium. Sebaliknya, label tersebut lebih mengandalkan kepercayaan sosial dan verifikasi oleh otoritas keagamaan setempat.

Pada masa itu, label halal lebih berfungsi sebagai identifikasi bagi komunitas Muslim di Argentina, daripada sebagai jaminan yang diterima secara universal.

Label halal ini lebih mengedepankan kepercayaan sosial, tanpa proses verifikasi laboratorium atau analisis ilmiah yang ketat.

Munculnya Metode Ilmiah untuk Sertifikasi Halal

Baca Artikel Menarik Lainnya: Istilah You Are What You Eat dan Pentingnya Memilih Makanan Halal

Kemudian revolusi Iran pada tahun 1979 menjadi titik balik dalam sejarah perkembangan sertifikasi halal berbasis ilmiah. Setelah revolusi tersebut, negara-negara di dunia mulai memperhatikan pentingnya label halal yang memiliki dasar ilmiah untuk mendukung kehalalan suatu produk. Hal ini pertama kali terwujud ketika Iran hendak mengimpor daging dari New Zealand.

New Zealand, sebagai negara penghasil daging terbesar, melihat peluang besar dalam ekspor produk ke pasar Muslim, tetapi mereka harus memastikan bahwa daging yang mereka kirim memenuhi standar kehalalan.

Untuk itu, pemerintah New Zealand mengundang imigran Muslim asal Iran untuk memverifikasi prosedur pemotongan hewan yang sesuai dengan syariat Islam.

Proses panjang ini berujung pada pengakuan bahwa New Zealand berhasil memperoleh sertifikat halal untuk pemotongan hewan pada awal dekade 1990-an. Namun, pada masa itu, sertifikat halal baru terbatas pada produk daging saja.

Malaysia dan Indonesia: Pelopor Sertifikasi Halal Berbasis Ilmiah

Pada akhir dekade 1980-an, penggunaan metodologi ilmiah untuk penilaian halal semakin berkembang, terutama di Malaysia dan Indonesia. Menurut Chao, dua faktor utama yang mendorong terjadinya perubahan besar ini adalah:

  1. Penelitian Prof. Tri Soesanto dari Universitas Brawijaya pada tahun 1988 yang mengungkapkan bahwa banyak produk yang beredar di pasaran mengandung derivatif babi, seperti gelatin dan lemak padat (shortening). Temuan ini mengguncang masyarakat, khususnya umat Muslim, karena banyak produk yang dikira halal ternyata mengandung bahan haram.
  2. Skandal Lemak Babi, yang berawal dari temuan tersebut, menyebabkan kerugian besar bagi perusahaan-perusahaan besar di Indonesia, seperti ABC, Bango, Indomie, dan lainnya. Bahkan, beberapa pejabat Orde Baru seperti Sudomo merasa khawatir akan terjadinya kerusuhan sosial akibat skandal ini. Untuk mengatasi masalah tersebut, Presiden Suharto menginstruksikan Jaksa Agung, Soekarton Marmosoedjono, untuk melakukan investigasi.

Akibat dari skandal ini, banyak pihak yang merasa perlu adanya verifikasi ilmiah terhadap produk-produk makanan yang beredar di Indonesia.

Hal ini mendorong Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk bekerja sama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk mendirikan LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia) pada tahun 1989.

LPPOM MUI inilah yang kemudian menjadi lembaga pertama yang melakukan penilaian halal secara ilmiah di Indonesia dan bahkan di dunia.

Pendirian LPPOM MUI di Indonesia bukan hanya memberikan solusi bagi umat Muslim, tetapi juga mengubah cara dunia melihat sertifikasi halal.

Menariknya, sertifikat halal ini justru mendapat sambutan hangat dari perusahaan-perusahaan besar internasional seperti McDonald’s dan KFC, yang menjadi di antara yang pertama menerima sertifikat halal MUI. Mereka memandang sertifikat halal sebagai nilai tambah yang dapat menarik konsumen Muslim.

Namun, di sisi lain, perusahaan-perusahaan lokal di Indonesia lebih lambat dalam mengadopsi sertifikasi halal ini. Meski demikian, seiring waktu, sertifikasi halal dari MUI semakin mendapat pengakuan di pasar global, dan kini menjadi standar internasional yang diikuti oleh banyak negara.

Secara keseluruhan, Indonesia dan Malaysia dapat dianggap sebagai pionir dalam pengembangan sertifikasi halal berbasis ilmiah. Sementara negara-negara lain baru mulai menggunakan metode ilmiah dalam sertifikasi halal pada awal 1990-an, Indonesia sudah memulai lebih awal melalui LPPOM MUI pada tahun 1989.

Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pendekatan ilmiah dalam memastikan kehalalan produk, yang tidak hanya berdampak pada umat Muslim, tetapi juga pada perkembangan industri pangan global. Kini, sertifikasi halal tidak hanya diakui sebagai jaminan kehalalan, tetapi juga sebagai simbol kepercayaan dan kualitas produk yang menjangkau pasar internasional. (AL)

Categories:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *