
HALAL CORRIDOR – Perdebatan mengenai hukum penggunaan alkohol dalam parfum, antiseptik, hand sanitizer, dan kosmetik sering kali menimbulkan kebingungan di kalangan umat Islam.
Pasalnya, sebagian besar umat menganggap bahwa semua yang mengandung alkohol otomatis najis dan haram digunakan, termasuk untuk pemakaian luar. Namun, benarkah demikian?
Sebetulnya, perbedaan pendapat para ulama terkait alkohol berakar dari perbedaan definisi antara khamr dan alkohol, serta sumber dan penggunaannya.
Untuk memahami masalah ini secara komprehensif, penting menelaah lebih jauh dasar-dasar hukum Islam yang berkaitan dengan keharaman khamr, sifat alkohol, serta konteks pemanfaatannya.
Dasar Hukum dan Pertimbangan Syariat
Al-Qur’an dan hadits secara tegas mengharamkan khamr. Di antaranya:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, berjudi, berhala, dan mengundi nasib adalah perbuatan keji dari perbuatan setan. Maka jauhilah agar kamu beruntung.”
(QS. Al-Maidah: 90)
“Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr adalah haram.”
(HR. Muslim)
“Apa yang jika banyak dikonsumsi bisa memabukkan, maka sedikitnya juga haram.”
(HR. Abu Dawud)
Namun, tidak semua alkohol yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari tergolong sebagai khamr, karena tidak semuanya memabukkan atau berasal dari proses fermentasi bahan makanan seperti anggur.
Klasifikasi Alkohol dan Hukumnya
Dalam pandangan fiqih kontemporer, alkohol atau etanol (C2H5OH) dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori utama berdasarkan asal dan penggunaannya:
- Alkohol sebagai senyawa kimia: digunakan dalam dunia industri dan laboratorium, bersifat netral secara hukum asal.
- Etanol yang digunakan sebagai pelarut: biasa ditemukan dalam parfum, antiseptik, mouthwash, deodorant, dan kosmetika.
- Alkohol dalam minuman keras (khamr): bersifat memabukkan dan jelas haram serta najis.
Yang menjadi dasar pengharaman dalam Islam adalah jika alkohol tersebut memiliki sifat memabukkan atau berasal dari proses pembuatan khamr. Maka, tidak semua alkohol itu najis atau haram, tergantung pada sumber dan fungsinya.
Fatwa Terkait Penggunaan Alkohol Non-Khamr
Dalam fatwa yang dilansir melalui laman resmi fatwatarjih.or.id, dijelaskan bahwa:
- Etanol hasil industri non-khamr, baik dari sintesis kimia (petrokimia) atau fermentasi non-khamr, adalah tidak najis dan mubah (boleh) digunakan selama tidak membahayakan secara medis.
- Penggunaan alkohol/etanol dari industri khamr, meskipun tidak memabukkan dalam jumlah kecil, tetap diharamkan karena berasal dari sesuatu yang haram.
- Pemakaian luar seperti parfum yang mengandung etanol dari petrokimia tidak termasuk dalam kategori khamr, karena tidak memiliki efek memabukkan dan tidak dikonsumsi secara oral.
- Para ulama juga berbeda pendapat soal najis tidaknya khamr secara fisik (dzati), namun sebagian besar menyepakati bahwa alkohol non-khamr tidaklah najis.
Penggunaan Parfum Beralkohol: Najis atau Tidak?
Dalam kasus parfum, umumnya alkohol yang digunakan adalah etanol dari petrokimia, yang fungsinya sebagai pelarut bahan wewangian.
Alkohol jenis ini tidak memabukkan, dan tidak dikonsumsi secara oral. Oleh karena itu, para ulama yang membedakan antara khamr dan etanol menyatakan bahwa:
- Parfum beralkohol tidak najis dan boleh digunakan, termasuk ketika akan melaksanakan salat.
- Kecuali jika parfum tersebut mengandung zat najis lain selain alkohol, maka penggunaannya tetap harus ditinjau ulang.
Alkohol dalam parfum, antiseptik, atau kosmetika tidak otomatis dianggap khamr atau najis, tergantung dari sumber dan penggunaannya.
Dalam hukum Islam, illat (sebab hukum) keharaman khamr adalah karena memabukkan, bukan sekadar karena mengandung alkohol.
Selama alkohol yang digunakan bukan berasal dari industri khamr dan tidak membahayakan secara medis, maka penggunaannya termasuk dalam produk luar seperti parfum diperbolehkan dalam Islam. (AL)
Tinggalkan Balasan