Benarkah Restoran Muslim-Friendly Sudah Pasti Halal?

Ilustrasi restoran muslim friendly (freepik)

HALAL CORRIDOR – Dalam era meningkatnya kesadaran umat Muslim terhadap konsumsi produk halal, istilah seperti halal-certified dan Muslim-friendly kerap ditemui di restoran, kafe, hingga destinasi wisata.

Tapi, Teman Khalisa pernah nggak bertanya apakah restoran Muslim-friendly itu sudah pasti halal? Jawabannya: belum tentu.

Istilah “Muslim-friendly” memang terdengar menjanjikan bagi konsumen Muslim, tapi tidak otomatis berarti bahwa makanan dan minuman yang disajikan telah melalui proses sertifikasi halal resmi dari lembaga berwenang. Lalu apa sebenarnya perbedaannya?

Apa Itu Muslim-Friendly?

Muslim-friendly adalah label yang diberikan pada tempat makan atau tempat wisata yang menyediakan fasilitas ramah bagi konsumen Muslim.

Misalnya, menyediakan tempat salat, menjauhkan menu dari bahan haram secara umum (seperti babi), dan menghindari penyajian alkohol secara terbuka.

Namun, tidak ada standar baku atau audit resmi yang menentukan apakah suatu restoran layak disebut Muslim-friendly. Label ini bisa saja diberikan secara mandiri oleh pemilik usaha, tanpa pengawasan atau verifikasi dari lembaga halal seperti BPJPH.

Apa Itu Halal Certified?

Sementara itu, restoran yang halal-certified berarti telah melalui proses audit menyeluruh: mulai dari bahan baku, proses pengolahan, penyimpanan, alat masak, hingga proses penyajian.

Sertifikat halal dikeluarkan oleh lembaga resmi seperti BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) dengan proses yang ketat dan terstandar.

Dengan kata lain, sertifikat halal menjamin kehalalan secara hukum dan proses, bukan hanya niat baik pemilik restoran.

Risiko Salah Persepsi

Banyak konsumen Muslim yang beranggapan bahwa jika suatu tempat makan mengklaim sebagai Muslim-friendly, maka otomatis sudah aman secara syariah.

Padahal, bisa saja bahan-bahan yang digunakan masih belum bersertifikat halal, atau peralatan masak tercampur dengan bahan non-halal.

Contohnya, restoran Jepang atau Korea yang menuliskan “No Pork, No Lard” di menunya. Meskipun tidak menggunakan babi, belum tentu mereka tidak menggunakan mirin, sake, atau saus yang mengandung alkohol dalam proses memasaknya. Atau, restoran yang menyajikan daging sapi, tapi tidak bisa membuktikan apakah hewan tersebut disembelih sesuai syariat.

Pentingnya Edukasi dan Sertifikasi

Sebagai konsumen, penting bagi kita untuk tidak hanya bergantung pada label Muslim-friendly, tapi juga menanyakan lebih lanjut:

  • Apakah bahan bakunya bersertifikat halal?
  • Apakah proses masaknya terjamin tidak tercampur bahan haram?
  • Apakah restorannya sudah memiliki sertifikat halal resmi?

Dan bagi pelaku usaha, penting juga untuk mulai mengurus sertifikasi halal sebagai bentuk komitmen kepada konsumen Muslim.

Apalagi, mulai Oktober 2026, sertifikasi halal akan menjadi wajib bagi produk makanan dan minuman, termasuk yang dijual di restoran.

Muslim-friendly adalah langkah awal yang baik, tapi tidak cukup untuk menjamin kehalalan sebuah restoran. Sertifikasi halal adalah satu-satunya bukti yang sah bahwa makanan yang disajikan telah memenuhi standar kehalalan secara menyeluruh.

Jadi, lain kali kamu makan di luar, jangan ragu untuk bertanya:
“Restoran ini sudah bersertifikat halal belum ya?”

Categories:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *