
Jakarta – Isu sertifikasi halal kembali mencuat setelah ditemukan produk halal mengandung babi hingga membuat publik pun geger dan resah.
Hal ini dikonfirmasi melalui rilis resmi BPJPH pada 21 April 2025, terkait 9 produk yang terdeteksi mengandung unsur babi.
Tak hanya itu, hal yang paling mencengangkan, 7 dari 9 produk tersebut sudah mengantongi sertifikasi halal resmi dari lembaga berwenang.
Akibat temuan ini, BPJPH langsung memberi sanksi berupa penarikan produk halal yang tercemar dari peredaran.
Diketahui, mayoritas produk tersebut berasal dari China dan Filipina, lalu diimpor dan dijual oleh perusahaan lokal Indonesia.
Baca Artikel Menarik Lainnya: Viral! Minuman Berlabel Halal tapi Mengandung Babi
Dikarenakan hal ini, Kepala BPJPH Haikal Hassan mengimbau masyarakat aktif mengawasi serta melaporkan produk yang melanggar ketentuan halal.
Lebih lanjut, kejadian ini menimbulkan keraguan besar atas kinerja sistem sertifikasi halal yang dianggap kurang transparan.
Hingga muncul kembali ide lama tentang mengganti sertifikasi halal dengan sistem sertifikasi haram yang dinilai lebih efisien.
Menurut wacana ini, negara cukup mengatur label haram, sebab jumlah produk haram jauh lebih sedikit.
Dilansir melalui Tempo menyebut, celah kecurangan kerap terjadi antara produsen dan auditor Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
Jika yang diatur justru produk haram, audit tak perlu menyasar seluruh rantai produksi, hanya produk spesifik saja.
Sehingga BPJPH dan BPOM tinggal mewajibkan produsen mendeklarasikan kandungan produknya secara terbuka dan jujur.
Namun, benarkah sistem ini bisa menggantikan sertifikasi halal yang selama ini jadi acuan kepercayaan umat?
Baca Artikel Menarik Lainnya: 5 Cara Mudah UMKM Mendapatkan Sertifikasi Halal
Faktanya, aturan tentang pelabelan produk haram sebenarnya sudah diatur dalam UU No. 33 Tahun 2014.
Dijelaskan, pelaku usaha wajib mencantumkan label tidak halal pada produk yang menggunakan bahan haram secara jelas.
Aturan ini diperkuat lagi lewat PP No. 42 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal.
Sanksinya pun jelas: dari teguran, denda administratif, hingga kewajiban menarik produk dari pasar.
Namun, yang wajib dilakukan produsen hanyalah memberi label, bukan sertifikasi resmi dari lembaga negara.
Artinya, pelabelan haram adalah aturan pendamping, bukan pengganti sertifikasi halal yang sudah berlaku.
Meski begitu, produk halal tak hanya soal bahan, tapi seluruh proses dari bahan mentah hingga penyajian ke konsumen.
Misalnya, pemotongan hewan yang tak sesuai syariat bisa membuat produk halal berubah status jadi haram.
Begitu juga alat produksi, distribusi, dan pengemasan yang tercampur produk najis atau tak halal.
Kalau hanya produk berbahan haram yang diberi label, bagaimana dengan kontaminasi tak terlihat dalam produksi?
Sertifikasi halal menjamin proses menyeluruh agar produk benar-benar sesuai syariat, bukan sekadar label.
Dengan adanya wacana mengganti sistem sertifikasi halal menjadi sertifikasi haram justru berisiko menyesatkan konsumen karena tidak menjamin proses.
Konsumen akan lebih percaya pada label halal ketimbang label “tidak haram” yang bersifat ambigu.
Tak hanya konsumen domestik, pasar ekspor makanan halal juga sangat memperhatikan keabsahan sertifikat.
Negara-negara seperti Uni Emirat Arab dan Arab Saudi mewajibkan sertifikasi halal, bukan sebaliknya.
Dengan sistem baru, bisa saja produsen dituntut memberi “keterangan tidak haram” untuk produk ekspor.
Artinya, bukannya menyederhanakan, sertifikasi haram justru bisa memperpanjang rantai birokrasi dagang.
Terlebih saat ini, industri halal Indonesia juga sedang tumbuh. Jangan sampai rusak karena sistem baru yang belum matang.
Menurut laporan State of Global Islamic Economy 2023/2024, nilai belanja produk halal capai 2,29 Triliun USD.
Baca Artikel Menarik Lainnya: Gebrakan BPJPH: Sertifikasi Halal Wajib bagi UMKM, Apa Manfaat dan Dampak Positifnya bagi Perekonomian Nasional?
Sehingga sektor makanan jadi penyumbang paling besar, dengan belanja sebesar 1,4 Triliun USD dari konsumen muslim dunia.
Bahkan Indonesia pun masuk 10 besar eksportir makanan halal dunia dan menempati peringkat ke-5 secara global.
Maka, mengganti sistem sertifikasi halal jelas bukan keputusan sepele yang bisa diambil begitu saja.
Alih-alih mempersoalkan sistem, lebih baik pemerintah perkuat pengawasan dan transparansi sertifikasi halal.
Masyarakat pun didorong lebih kritis, aktif melapor, dan tidak hanya bergantung pada label semata.
Karena pada akhirnya, kehalalan bukan sekadar stempel, tapi amanah yang harus dijaga dari hulu hingga hilir. (AL)
Tinggalkan Balasan