
HALAL CORRIDOR – Gelatin adalah bahan serbaguna yang kerap ditemukan dalam berbagai produk sehari-hari. Mulai dari permen kenyal, marshmallow, yoghurt, kapsul obat, hingga skincare, semua bisa mengandung gelatin.
Namun, siapa sangka bahan yang sering dianggap “aman” ini ternyata punya titik kritis dalam kehalalannya?
Umumnya, gelatin dibuat dari kolagen hewani, yang diekstrak dari tulang, kulit, atau jaringan hewan. Nah, di sinilah letak titik kritisnya asal hewan dan cara penyembelihannya sangat menentukan status kehalalannya.
Jika gelatin berasal dari hewan halal yang disembelih sesuai syariat Islam, maka gelatin tersebut halal digunakan.
Namun jika berasal dari hewan haram seperti babi, atau dari hewan halal yang tidak disembelih secara syar’i, maka produk itu menjadi haram atau syubhat (meragukan).
Yang jadi tantangan, banyak produsen menggunakan gelatin babi karena proses pembuatannya lebih mudah dan murah.
Sayangnya, label produk sering kali tidak menyebutkan secara jelas asal-usul gelatin yang digunakan.
Baca Artikel Menarik Lainnya: Rahasia Sertifikasi Halal untuk UMKM Go Global
Di Indonesia, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan LPPOM MUI menjadi lembaga yang memeriksa dan mengesahkan kehalalan gelatin.
Produk yang telah bersertifikat halal berarti telah melewati proses audit termasuk verifikasi bahan dasar seperti gelatin.
Tak hanya di makanan, gelatin juga banyak ditemukan di produk farmasi dan kosmetik. Misalnya pada kapsul lunak obat atau vitamin, masker wajah, hingga pelembab.
Oleh karena itu, konsumen Muslim perlu lebih cermat dan teliti saat membeli produk jangan hanya lihat merek, tapi juga cek sertifikasi halalnya.
Bagi pelaku usaha, penting untuk menyadari bahwa gelatin adalah salah satu bahan yang wajib diperhatikan saat mengajukan sertifikasi halal.
Jika menggunakan gelatin impor, perlu dicek apakah sudah memiliki sertifikat halal dari lembaga yang diakui oleh MUI atau BPJPH.
Solusinya? Gunakan gelatin halal atau alternatif nabati. Kini sudah banyak gelatin halal di pasaran yang bersumber dari sapi halal tersertifikasi atau dari ikan.
Bahkan, beberapa produsen mulai beralih ke bahan pengganti seperti agar-agar, pektin, atau karagenan yang berasal dari tumbuhan.
Menggunakan bahan halal bukan hanya soal patuh pada aturan, tapi juga soal kepercayaan konsumen.
Industri yang memperhatikan aspek halal biasanya lebih mudah menembus pasar ekspor, terutama negara-negara mayoritas Muslim.
Dengan mengetahui titik kritis gelatin, kita bisa lebih bijak dalam memilih dan memproduksi. Jangan sampai niat baik berbisnis atau menjaga kesehatan justru tergelincir karena ketidaktahuan soal bahan. (AL)
Tinggalkan Balasan