Fenomena Halal Palsu, Halal Corridor Beri Tanggapan

Ilustrasi produk mengandung babi berlabel halal

Jakarta – Maraknya temuan seputar produk mengandung babi yang justru berlabel halal menjadi alarm besar bagi konsumen muslim Indonesia. 

Bukan hanya mencederai kepercayaan publik, fenomena ini juga menyentil integritas sistem sertifikasi halal yang selama ini menjadi tameng utama perlindungan konsumen muslim.

Menanggapi fenomena ini, Ir. Prasojo Triwahyu E., Direktur Halal Corridor, menyatakan keprihatinan mendalam. 

Menurutnya, kejadian ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan pengkhianatan terhadap nilai spiritual yang dijunjung tinggi umat Muslim. 

“Kita harus ingat, tanggung jawab halal itu bukan hanya soal dunia, tapi juga akhirat,” tegasnya.

Baca Artikel Menarik Lainnya: Celah di Balik Sertifikasi Halal, Ini Kata Auditor

Lebih lanjut, sebagai organisasi yang berperan sebagai penghubung antara pelaku usaha dan sistem sertifikasi halal

Halal Corridor aktif menjalin kerja sama dengan BPJPH dan lembaga-lembaga terkait lainnya. 

Terutama bagi UMKM, Halal Corridor hadir untuk mempermudah pemahaman hingga implementasi prinsip halal dalam keseharian produksi.

Namun, menurut Prasojo, sistem sertifikasi halal di Indonesia tetap perlu dievaluasi. Salah satu sorotan utama adalah sertifikat halal yang berlaku seumur hidup tanpa batas waktu. 

“Surveillance tahunan harus ditegakkan. Bahkan saya rasa, sudah saatnya masa berlaku sertifikat halal diterapkan kembali, agar ada konsistensi dan tanggung jawab berkelanjutan dari pelaku usaha,” jelasnya.

Tak hanya itu, maraknya temuan produk halal palsu juga menimbulkan wacana “sertifikasi haram” di kalangan publik. 

Dalam kesempatannya, Prasojo memberikan pandangan kritis. Ia khawatir, istilah tersebut justru bisa menimbulkan stigma negatif dan diskriminatif terhadap produk non-halal. 

Baca Artikel Menarik Lainnya: 29 Produk Halal Mengandung Babi Ditemukan di Banyuwangi

Menurutnya, solusi yang tepat bukan menambah sertifikasi baru, melainkan memperkuat sistem yang sudah ada dan mewajibkan pelabelan non-halal secara transparan.

Dalam perspektifnya, edukasi masyarakat menjadi kunci. “Halal bukan sekadar urusan agama, tapi juga soal kesehatan dan kebersihan produk. Di sinilah pentingnya peran pemangku kepentingan dalam memberikan pemahaman yang utuh kepada publik,” tambahnya.

Dengan diterbitkannya PP No. 42 Tahun 2024 tentang Kewajiban Label Non-Halal, regulasi sebenarnya sudah cukup kuat. 

Namun jika masyarakat menghendaki transparansi lebih, hal itu bisa menjadi pintu masuk penyempurnaan regulasi ke depan. 

Tentu saja, industri harus diajak duduk bersama agar tidak menimbulkan resistensi, melainkan menciptakan ekosistem yang lebih jujur dan bertanggung jawab.

Kasus produk halal palsu ini jadi cermin penting, sudah saatnya semua pihak berbenah, demi menjaga kepercayaan dan kehalalan yang bukan hanya sah secara hukum, tapi juga bersih secara hati. (AL)

Categories:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *